Nikah Siri Menurut Islam

Pada dasarnya pernikahan merupakan salah satu ikatan lahir batin di antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan arah membuat satu keluarga atau rumah tangga yang berbahagia serta selaras.

Di Indonesia, pernikahan diharuskan untuk mengikuti aturan negara sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Semua hal tentang pernikahan sudah ditentukan di undang-undang.

Sedangkan menurut agama atau Islam sendiri syarat yang harus di penuhi agar pernikahan tersebut sah secara agama ialah dengan memenuhi rukun nikah.

Namun di Indonesia belum di anggap sah secara hukum jika hanya dilakukan secara agama, tidak dicantumkan di kantor urusan agama.

Hal ini atas pertimbangan dokumen anak nantinya, yaitu untuk mempermudah proses akte kelahiran dan sensus kependudukan dan sejenisnya.

Dalam Islam, ada beragam jenis opini ulama berkenaan hukum nikah siri. Lalu, sebetulnya bagaimana hukum nikah siri? Baca keterangan ini.

Hukum Nikah Siri

Saat sebelum ketahui hukum nikah siri menurut Islam, seharusnya dimengerti dahulu pemahaman nikah siri tersebut berdasar sebagian ulama. Istilah nikah siri sendiri bermula dari perkataan Umar bin Khattab saat ketahui ada pernikahan tanpa didatangi saksi, tetapi cuman seorang wanita dan pria.

Pada suatu kisah masyhur, di saat itu, Umar berbicara, “Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan kiranya saya mengetahui terlebih dulu, karena itu pasti saya rajam.”

Semenjak waktu itu, ulama-ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i mendeskripsikan nikah siri sebagai pernikahan tanpa saksi dan jangan dilaksanakan. Lantas, dalam perubahannya, walau mendatangkan saksi di mana saksi itu disuruh supaya rahasiakan pernikahan itu, Imam Malik memiliki pendapat jika hukumnya tidak bisa. Ini karena persyaratan mutlak syahnya pernikahan menurut Islam ialah ada informasi (i’lan).

Namun, Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ibnu Mundzir berlainan opini dengan Imam Malik. Menurutnya, bila sudah ada saksi, karena itu persyaratan pernikahan sudah tercukupi. Karena, peranan saksi adalah i’lan tersebut . Maka, walau dirahasiakan, pernikahan masih tetap syah karena sudah dilihat oleh wali/saksi.

Disebutkan juga jika nikah siri dalam Islam terkait dengan peranan saksi, yaitu untuk umumkan ke warga jika terjadi pernikahan. Jumlah saksi minimum ialah satu atau 2 orang lelaki dan 2 orang wanita.

Dalam masalah ini, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Pelacur ialah wanita yang memasangkan dianya tanpa (ada) bukti.” (HR. Tirmidzi)

Dalam warga Indonesia, nikah siri lebih dikenali dengan pengertian pernikahan yang syah berdasarkan agama, tetapi tidak syah menurut Undang-undang. Ringkasannya, nikah siri dengan pengertian itu hukumnya bisa, karena syah secara agama karena ada saksi dan dipublikasikan.

Tetapi, bila nikah siri yang diartikan ialah original adalah pengertian yang bermula dari Umar bin Khattab, yaitu tidak ada saksi dan tidak dipublikasikan, karena itu hukumnya sama dengan zinah, tidak dibolehkan.

Meski begitu, nikah siri ialah suatu hal yang semestinya dijauhi. Mencuplik buku Kejelasan Hukum Perkawinan Siri dan Masalahnya Dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 oleh Zainuddin dan Afwan Zainuddin, nikah siri akan berpengaruh jelek untuk ke-2 pasangan, terutamanya wanita.

Bila terjadi perpisahan, akan muncul permasalahan berkaitan hak asuh anak dan hak peninggalan atau harta gono-gini.

Jadi alangkah baiknya jika sudah telanjur melakukan pernikahan siri ada baiknya untuk melakukan Isbath nikah atau sidang istbath untuk mengesahkan pernikahan secara hukum yang berlaku.